Asyafaat
Sunday, January 8, 2017
Tuesday, July 26, 2016
MAKALAH
TAHAPAN MENUJU PERNIKAHAN ( Pra Nikah )
DiSusun sebagai syarat Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Fiqh Munakahat II
Dosen
Pengampu : Drs.Abdurahman Rasna MM.
Disusun
oleh :
Nama
: Ahmad Syafaat
Nim :
A01140017
PRODI
AKHWAL ASY-SYAKSIYYAH
FAKULTAS
AGAMA
UNIVERSITAS
MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2016
KATA
PENGANTAR
Puja kita panjatkan
kepada Allah yang maha kuasa, puji kita panjatkan kepada Allah yang maha suci,
dan syukur kepada Allah yang maha Ghafur atas limpahan karunia-Nya, taufiq dan
hidayah-Nya kita masih dapat menikmati nikmat yang tak terukur, nikmat yang tak
terhitung, dan takan bisa terbayar tentunya, sehingga pada saat ini kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih
munakahat II yang apabila tanpa nikmat-Nya takan
dapat terselesaikan secara maksimal. Shalawat beserta salam semoga tetap
tercurah dan limpahkan kepada kakanda baginda Nabi Muhammad SAW. Berkat
dedikasi beliau yang membawa
kita semua dari peradaban jahiliyah menjadi insyaAllah madaniyah, dari
perjuangan Dakwah sampai sekarang perjuangan ilmiah.
Ucapan
terima kasih sebesar-besarnya penulis
haturkan kepada bapak Drs Abdurahman
Rasna MM selaku dosen mata kuliah Fiqih munakahat II yang telah
memberikan tugas, semoga dengan adanya tugas ini kita mampu menyerap,
menyampaikan, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Juga kepada
teman-teman yang telah membantu memberikan suport dan do’a.
Makalah ini penulis beri judul Tahapan
menuju pernikahan (pra nikah),
di dalamnya di bahas berdasarkan kajian ontologi, epitemologi, dan aksiologi,
tercantum pula referensi tambahan untuk memperkuat agar dapat di pertanggung
jawabkan, tercantum pula pandangan para pemikir (Imam, Ulama, Sahabat, Tokoh)
agar dapat menjadi sebuah perbandingan.
Demikian makalah yang
kami buat demi kelancaran dalam menuntut ilmu kritik membangun dan saran
perbaikan sangat kami di tunggu, mohon maaf segala kekurangan dan kesalahan
dalam pembuatan makalah ini.
Cikaliung,1 April 2016
Ahmad Syafaat
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah.............................................................................
B. Identifikasi masalah.................................................................................
C. Rumusan masalah.......................................................................................
D. Tujuan penulisan.........................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian taaruf,kitbah
dan pacaran .......................................................
B.
Syarat sah
kitbah......................................................................................
C.
Kajian
penelitian kasus taaruf ,kitbah dan pacaran dimasyarakat..............
D.
Anggota tubuh
yang boleh dilihat pasca dipinang.....................................
E.
Pertimbangan
proses taaruf,kitbah,pacaran menuju pernikahan.................
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................................
B.
Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Islam adalah sebuah ajaran
agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada manusia sampai akhir zaman.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Dan Islam
merupakan suatu ajaran yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat, karena didalamnya terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih
bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah
agama yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran ritual saja, akan tetapi juga
mengajarkan tata etika dan moral serta sosial kemasyarakatan, yang diantaranya
adalah tata cara pernikahan (perkawinan) yang sebelumnya ada
tahapan-tahapannya, yaitu taaruf (mengenal) dan khitbah (pinangan).Begitu
besar peran suami istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu memperhatikan
hubungan antara pria dengan seorang wanita, baik sebelum dan sesudah terjadinya
akad nikah.
Sebelum menikah ada beberapa fase-fase yang harus
dilalui, yaitu pertama adalah acara taaruf, yang mana dari pihak
laki-laki mengutus seorang perempuan yang dipercaya atau orang lain yang masih
menjadi mahromnya si perempuan untuk menyelidiki perempuan yang akan dipinang
tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau mengenal si perempuan, apakah ia masih
gadis (belum ada ikatan perkawinan atau tunangan dengan orang lain) ataukah
seorang janda, ia cacat ataukah sempurna tubuhnya, ia dari keluarga baik-baik
atau tidak, ia sholehah (berakhlak dan taat menjalankan agamanya) ataukah
sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.tetapi dizaman sekarang anak
muda lebih memilih pacaran dalam menentukan pasangan hidup yang akan membuat
kerusakan.
B.
Identifikasi masalah
Dari
uraian latar belakang diatas banyak teridentifikasi masalah diantaranya :
a) Banyak masyarakat yang melakukan pacaran sebagai dalih
mencari pasangan hidup
b) Banyak pemuda berjalan berduaan dengan lain muhrim
ditempat sepi
c) Melunturnya pemahaman mengenai taaruf yang sesuai
dengan syariat
d) Pacaran dijadikan pelampiasan hawa nafsu
C. Rumusan
masalah
a) Apakah perbedaan taaruf dengan pacaran?
b) Bagaimana tahapan mencari pasangan yang sesuai dengan
syariat islam?
c) Kenapa pacaran banyak diminati remaja dengan dalih
syarat menuju pernikahan?
d) Apa saja anggota tubuh terpinang yang boleh dipandang?
e) Bagaimanahukum memandang wanita terpinang?
D. Tujuan
penulisan
a) Supaya mahasiswa mengetahui cara pandang hal apa yang
dilakukan pra nikah
b) Memeberikan pemahaman bahwa pacaran menimbulkan
kerusakan
c) Mahasiswa sebagai agent of change mampu menjadi pionir
dalam masalah keluarga yang sering terjadi dimasyarakat
d) Sebagai tambahan khazanah keilmuan dibidang akhwal
asy-syaksiyah
BAB II
PEMBAHASAN
Agama Islam
telah mengatur 3 (tiga) hal yang fundamental, yaitu hubungan manusia dengan
tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan sosial
masyarakat. Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan disebut
ibadah, sementara aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
lain, alam dan lingkungan disebut mua’amalah. Sedangkan bagian muamalah biasanya meliputi : Hukum
niaga, munakahat, hukum wajib, hukum pidana, hukum tata negara, hukum
internasional, hukum acara dan lain-lain,terakhi inilah yang termasuk
didalamnya membahas tentang tata cara sebelum menikah yang terdiri dari
beberapa syarat dan rukun.
Jelaslah
bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran ritual
saja, akan tetapi juga mengajarkan tata etika dan moral serta sosial
kemasyarakatan, yang diantaranya adalah tata cara pernikahan (perkawinan) yang
sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu :
v Taaruf (
mengenal )
Taaruf
merupakan masa penjajakan yang dianjurkan islam bagi para umatnya yang telah
siap untuk menikah. Begitu besar peran suami istri dalam keluarga, sehingga
Islam selalu memperhatikan hubungan antara pria dengan seorang wanita, baik
sebelum dan sesudah terjadinya akad nikah. acara taaruf, yang mana dari
pihak laki-laki mengutus seorang perempuan yang dipercaya atau orang lain yang
masih menjadi mahromnya si perempuan untuk menyelidiki perempuan yang akan
dipinang tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau mengenal si perempuan, apakah
ia masih gadis (belum ada ikatan perkawinan atau tunangan dengan orang lain)
ataukah seorang janda, ia cacat ataukah sempurna tubuhnya, ia dari keluarga
baik-baik atau tidak, ia sholehah (berakhlak dan taat menjalankan agamanya)
ataukah sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.Kemudian setelah
diketahui dan yakin terhadap keadaan perempuan tersebut dan layak untuk
dinikahi oleh si laki-laki sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw :
Artinya :“ Perempuan dinikahi karena empat perkara
: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, pilihlah olehmu
karena agamanya niscaya engkau berbahagia” (mutafaqun alaih)[1]
Dalam taaruf
dikenal dengan istilah muarabbi atau perantara, proses taaruf diawali dengan
salaing bertukar informasi melalui murrabi masing-masing pihak,kemudian apabila
keduannya merasa cocok satu sama lain proses ini berlanjut pada tahap
pertemuan, dalam melakukan pertemuan pun harus selalu melibatkan murrabi
biasanya pertemuan dibatasi hanya 2-3 kali dengan jangka waktu 1-2 jam.dalam
pertemuan tersebut mereka dapat saling bertanya mengenai kepribadian,problem
hidup,pola piker dan lain sebagainnya penulis yakin bahwa melalui taaruf yang
disyariatkan akan adanya pertimbangan (marital adjustment) menuju jenjang
pernikahan. Antara taaruf dan pacaran jika dikaji secara
ontologis,epistemology,aksiologi, itu sangat berbeda sekali, penulis
berpendapat secara empiris banyak masyarakat dikalangan muda melakukan pacaran
bahkan anak-anak masih sekolah pun melakukan pacaran ini adalah termasuk salah
satu prolematika umat yang harus diperbaiki oleh generasi muda sebab dengan
pacaran kerusakanlah yang pasti akan terjadi baik berdampak pada dirinya
sendiri maupun orang lain. Perbedaan lainnya dengan proses pacaran adalah
mengenai batas watu taaruf,taaruf pada umumnya berlangsung paling lama 3-4
bulan jika pacaran arah dan tujuannya tidak jelas,sebagaimana rosulalah saw
bersabda:
“janganlah
seorang laki-laki bertemu sendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal
baginya,karena yang ketiganya adalah setan” (HR Imam Ahmad)
Pada
hakikatnya tidak ada aturan baku tentang taaruf sebab aturan umum dalam
pergaulan islam tetap berlaku,patokannya antara lain tetap seperti yang
disebutkan dalam Al-qur’an (Qs An-nuur ayat 30-31 dan Al-isro ayat 32) dan al-hadist
diantaranya menjaga pandangan,menjaga aurat,menghindari zina mata,zina hati,dan
zina badan,dari aturan-aturan diatas sudah jelas proses taaruf tidak boleh
melenceng dari aturan tersebut. Jika keduanya sudah merasa cocok maka proses
taaruf selanjutnya perkenalan ketahap keluarganya yang didampingi murrabi atau
bisa disebut khitbah / meminang /tunangan.[2]
v Khitbah
a.
Definisi khitbah
Khitbah adalah peminangan
kepada seorang wanita untuk dijadikan istri,
atau suatu tanda ikatan dari laki-laki kepada
perempuan untuk dijadikan istri dikemudian hari dengan melalui prosesi
keagamaan yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat, yaitu dari
pihak keluarga pria datang kepada pihak keluarga wanita untuk mengadakan acara
pinangan dengan melalui musyawarah dan kesepakatan biasanya ditandai pemberian
cincin atau lainnya, dengan tujuan tidak diperkenankan orang lain melamar atau
menikahi perempuan yang sudah dipinang tersebut.[3]
Dalam ajaran Islam setelah khitbah atau dalam istilah sekarang tunangan, adalah
merupakan hubungan yang belum dihalalkan untuk bertemu berduaan atau bahkan
bepergian bersama-sama sebagaimana pergaulan orang yang sudah menikah layaknya
suami istri, sebab tunangan itu hanyalah suatu ikatan janji untuk menuju nikah
bukan pernikahan, oleh karenanya hal tersebut belumlah sampai pada taraf halal
bahkan semuanya masih dikategorikan haram. Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa menyendiri dengan tunangan hukumnya haram.Agama tidak memperkenankan
melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat. Hal ini dikarenakan
menyendiri (berduaan) dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang
agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah
terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan5.
Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad saw :
“Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw., Beliau
bersabda : “ Janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan,
melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahromnya.” (HR.Bukhori)
Khitbah hanyalah
suatu ikatan janji untuk menuju jenjang pernikahan, maka tidak diperkenankan
sedikitpun untuk mengikuti jejak dan aturan pergaulan orang yang sudah menikah,
karenanya hal tersebut belumlah sampai pada taraf halal, seperti bepergian
bersama, bersenda gurau dan lain sebagainya. Mengenai pergaulan seseorang yang
belum melakukan pernikahan, yang mana ia masih baru selesai melaksanakan
peminangan, maka ada larangan-larangan baginya yang menjadi tolak ukur dalam
mengadakan pergaulan kepada perempuan yang telah dipinangnya. Pergaulan bagi
orang yang masih dalam tunangan adalah terlarang mutlak secara syar’i, untuk
berdua-duaan tanpa didampingi mahram si perempuan yang bijaksana dan mengerti
batasan-batasan agama mengenai pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Sehingga keduanya diharapkan selama dalam ikatan khitbah untuk menjaga
kehormatan, kemulyaan dan harga dirinya masing-masing. Pada masa tunangan
itulah kedua belah pihak memiliki kesempatan dan berusaha mengenal calon
pasangan hidupnya dengan batasan-batasan yang telah diatur oleh Islam, kalau
ternyata ada kesesuaian maka perkawinan dapat dilangsungkan, tetapi kalau
terdapat ketidaksesuaian, bolehlah pertunangan dapat dibatalkan dengan cara
yang arif.[4] Islam
dengan tegas melarang laki-laki dan perempuan berdua-duaan tanpa adanya mahram
meskipun sudah bertunangan sampai ada ikatan suami istri. Orang yang berkhalwat
(berduaan) dikhawatirkan mudah melakukan sesuatu yang dilarang Allah SWT.
b.
Karakteristik khitbah
Diantara
hal yang disepakati mayoritas ulama fiqih,syariat,dan perundang-undangan bahwa
tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah,belum ada akad nikah.khitbah
tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti akad nikah.dalam akad nikah,memeiliki
ungkapan khusus (ijab qabul) dan seperangkat persyaratan tertentu,dengan
demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan akad nikah secara syara’.
Karakteristik
khitbah hanya semata berjanji akan menikah,masing-masing calon pasangan
hendaknya mengembalikan perjanjian ini didassarkan pada pilihannya sendiri
karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni tidak hak intervensi
orang lain.bahkan andaikata mereka telah sepakat kadar mahar dan bahkan mahar
itu telah diserahkan sekaligus atau wanita terpinang telah menerima berbgai
hadiah dari peminang,atau telah menerima hadiah yang telah berharga.semua itu
tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan
maslahat.maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak
diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya,karena akad nikah
adalah akad menentukan kehidupan mereka.diantara maslahat yaitu jika dalam akad
nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kehidupan belah pihak,tidak
ada tekanan dan paksaan dari mana pun.jika seorang peminang diwajibkan atas
sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus melaksanakan akad nikah sebelum
memenuhi segala sebab yang menjadikan kerelaan.demikian akan ditetapkan
kitab-kitab fiqih secara ijma tidak ada perselisihan.kesepakatan tersebut tidak
berpengaruh pada apa yang diriwayatkan dari imam malik bahwa perjanjian itu
wajib dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat. Akan tetapi
dalam perjanjian akan nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi,karena penepatan
janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada
kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis
ini.[5]
c. Hikmah
disyariatkan khitbah
Transaksi
nikah dalam islam tergolong transaksi yang paling agung dan paling tinggi
kedudukannya,karena ia hanya terjadi pada mahluk yang paling agung di bumi,yakni
manusia yang dimuliakan Allah sebagaimana firman-Nya.
Artinya :
Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu adam dan kami angkut mereka didarat
dan dilaut dan beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka
diatas banyak mahluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (QS Al-isra (17) : 70)
Akad
nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara.salah satu dari
kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sacral
terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dab mengetahui secara jelas
tradisi calon teman hidupnya,karakter, prilaku, dan akhlaknya sehingga
keduannya akan dapat meletakan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta,
puas, bahagia, dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak
mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu
pihak.inilah diantara hikmah disyariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai
tujuan yang mulia dan impian yang agung.
d. Hukum
memandang wanita terpinang
Syariat
islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,bahkan
dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang
merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman
diantara dalil yang menunjukan bolehnya memandang wanita karean khitbah
sebagaimana yang diriwayatkan dari nabi bersabda kepada Al-mughirah bin syu’bah
yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi :” Apakah Anda telah
melihatnya?” ia menjawab: Belum beliau bersabda :
Lihatlah
ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda
berdua. (maksudnya menjaga kasih saying dan kesuaian).
Demikian juga hadist dari jabir ia berkata rosulalah
saw bersabda :
Artinya : Jika
meminang salah seorang diantara kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu
melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah.jabir berkata : “Kemudian
aku meminang seorang wanita yang semula tersembunyi sehinnga aku melihat apa
yang menarik bagiku untuk menikahinya,kemudian aku menikahinya.” (HR Abu
Dawud).
Syariat
islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang,padahal asalnya haram
memandang wanita lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi
darurat,yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut kareana
masing-masing calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan
orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus prilakunya. Ia akan
menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan yakni
anak-anak dan keturunannya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing
laki-laki dan wanita memandang satu sama lain pada sebagian kondisi selain
khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian.
Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan
laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
e. Anggota
tubuh yang terpinang yang boleh dipandang
1) Mayoritas fuqaha seperti imam malik, Syafi’i dan Ahmad
dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang
yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan.
Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai
kejiwaan,kesehatan,dan akhlak.sedangkan kedua telapak tangan dijadikan
indicator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapaun dalil mereka adalah
firman Allah swt :
Artinya : dan janganlah menampakkan perhiasannya
(aurat), kecuali apa yang biasa terlihat darinya. (QS. An-Nur (24) : 31)
Ibnu abbas
menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya” dimaksudkan wajah dan
kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan pandangan disini diperbolehkan
karena kondisi darurat maka hanya sekadarnya wajah menunjukan keindahan dan
kecantikan,sedangkan kedua telapak tangan menunujukan kehalusan dan kelemahan
tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain keduan anggota tubuh tersebut jika
tidak ada darurat yang mendorongnya.
1.
Ulama hambali
berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang
sebagaimana memandang wanita mahram yaitu apa yang tampak pada wanita pada
umumnya disaat bekerja dirumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher,
kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh
yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya. Adapun alasan
mereka Nabi tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang nampak pada umumnya,
oleh karena itu tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian diperbolehkan
memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah. Mereka juga
berdalil pada hadist yang diriwayatkan dari sa’id dari sufyan dari Amr bin
Dinar dari ibnu ja’far berkata : Umar prnah meminang putri ali, Ali menjawab:
masih kecil. Mereka berkata : sesungguhnya Ali menolak engkau.’ Maka ia
mengulangi pinangan itu. Ali berkata : kami akan mengutusnya kepada engkau
untuk dilihat, Umar setuju kemudian menyingkap kedua betis kakinya. Putri itu
berkata : Aku diutus sesungguhnya jikalau bukan engkau amirul mukminin aku
tampar dengan darah haidh yang engkau lihat.”
2.
Ulama hanafiyah
dan hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang
diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki,
tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang
yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih
dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya
diduga maslahat.dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut
saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak
tangannya ketika dalam shalat dan haji.
3.
Dawud
azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang
yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda nabi saw :”Lihatlah kepadanya.”
Disini Rosulalah saw tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu
dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama
karena pendapat mereka menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena
darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (rajih) yakni bolehnya memandang wajah,kedua telapak tangan, dan
kedua tumit kaki.
f. Empat mata
dengan wanita pinangan
Syariat islam memperbolehkan
laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita terpinang boleh
melihat laki-laki peminang. Penglihatan masing-masing ini dimaksudkan agar
saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke pernikahan. Kebolehan melihat
tersebut hanya pada saat khitbah. Oleh karena itu, peminang tidak boleh
bersunyian empat mata dengan wanita terpinang, tidak boleh pergi bersama,
keluar untuk rekreasi kecuali disertai dengan mahram. Hal tersebut untuk
menolak fitnah menjauhi tempat-tempat keraguan, memelihara kemuliaan dan
kehormatan gadis. Fuqaha telah sepakat bahwa pandangan peminang terhadap wanita
terpinang tidak boleh ditempat sunyi karena bersunyian antara laki-laki dan
wanita haram. Syariat islam memperbolehkan melihat wanita terpinang karena
maslahat, sedangkan segala bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan
terlarang. Oleh karena itu tidak boleh
melihat wanita terpinang ditempat sepi tanpa disertai salah seorang keluarga
(mahram).[6]
Bersepian dengan wanita lain haram hukumnya, kecuali bagi mahram atau suaminya
sendiri. Asumsi diperbolehkannya pacaran, bergaul bebas, dan bersepian dengan
maksud saling mengetahui sifat atau karakter calon teman hidupnya sebelum
menikah adalah asumsi batil, tidak benar. Hal tersebut dikarenakan
masing-masing individu akan membebani teman calon pasangannya berdiri diluar
karakter dan menampakkan dirinya tidak seperti biasanya.
g. Syarat sah
khitbah
Pinangan (khitbah) tidak sah
kecuali dua syarat yaitu :
·
SEORANG WANITA YANG BAIK DIAKAD NIKAHI
Wanita yang baik diakadnikahi pada saat pinangan sehingga
dapat menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa kitbah
berfungsi sebagai sarana (washilah) untuk mencapai suatu tujuan, yakni nikah.
Hukum sarana sama dengan hukum tujuan. Jika tujuan itu tidak disyariatkan maka
tujuan itu terlarang.
Wanita menjadi objek akad jika ia terlepas dari berbagai
larangan nikah secara syara dan tidak haram karena suatu sebab dari berbagai
sebab keharaman. Sebab keharaman itu adakalanya kekal abadi seperti ibu,
saudara perempuan, dan saudara perempuan dari pihak bapak maupun
ibu dan adakalanya bersifat temporal seperti wanita murtad, wanita
musyrik, istri orang, saudara perempuan dari istri atau saudara perempuan bapak
dan ibunya istri. Wanita yang haram abadi tidak boleh dinikahi dalam keadaan
bagaimana pun karena sebab keharaman bersifat tetap dan tidak akan sirna.
Status ibu, saudara perempuan, dan saudara perempuan bapak misalnya adalah
keharaman yang bersifat tetap dan kekal sepanjang masa, tidak akan terjadi
pengguguran, perubahan, dan pergeseran. Sedangkan wanita yang diharamkan
bersifat temporal, tidak boleh dinikahi selama sebab keharaman itu masih ada .
jika sebab keharaman itu sudah lenyap, bagi orang yang ingin menikahinya boleh
melakukan khitbah misalnya, wanita murtad kembali masuk islam, wanita musyrik
memeluk agama samawi, dan wanita tertalak yang sudah habis masa iddahnya.
Untuk memperjelas permasalahan khitbah terhadap wanita
tertalak dalam masa iddah, berikut ini akan dipaparkan secara terperinci.
1. Wanita
ber-iddah talaq Raj’i
Para fuqaha sepakat keharaman meminang wanita dalam masa iddah talak
raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga
kalinya) baik menggunakan Bahasa yang tegas dan jelas maupun menggunakan Bahasa
sindiran (kinayah). Sang istri yang
tertalak raj’i masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis
selama dalam masa iddah. Suami boleh ruju’(kembali) tanpa minta kerelaan dari
padanya kapan pun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam
masa iddah. Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita dalam
masa iddah, karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan hak suami
pencerai, menodai perasaannya dan merampas haknya dalam mengembalikan istri
tercerai kepangkuannya karena terkadang wanita itu mempunyai banyaka anak yang
masih kecil yang kemudian bisa terlantar karenanya.meminang wanita dalam masa
iddah terkadang membuat wanita tersebut berbuat bohong, mengaku telah habis
masa iddahnya padahala kenyataannya ia belum habis masa iddahnya.[7] Meminang
wanita dengan menggunakan bahasa yang jelas berarti menyebutkan ungkapan kata
yang mempunyai makna suatu keinginan meminang tidak ada kemungkinan makna lain
sedangkan meminang dengan Bahasa sindiran dan samara berarti menyebut ungkapan
kata yang mengandung makna meminang dan makna lain namun kandungan lahirnya
pada makna lain lebih kuat. Diantara meminang dengan menggunakan Bahasa
sindiran sebagaimana dalam suatu periwayatan, bahwa sukainah binti hanzhalah
berkata : “Muham
mad bin ali bin al-khusain minta izin kepadaku dan aku
belum selesai masa iddahku dari suamiku yang wafat.” Dia berkata : “sudah
maklum kerabatku dari rosulalah saw dan kerabatku dari ali, tempat tinggalku di
arab.” Aku berkata: “semoga Allah mengmpunimu hai Abu ja’far seseungguhnya
engkau bersalah meminangku pada masa iddah…”Dia berkata aku memberi tahu engkau
bahwa kerabatku dari rusulalah dan dari Ali.”
Ungkapan kata diatas mengandung makana meminang dan
yang lain, karena Muhamad bin Ali dapat menjelaskannya dengan makna lain.
Contoh lain ungkapan seorang laki-laki: jika telah selesai masa iddahmu beri
tahu aku”. Di maksudkan meminang dengan indikasi yng tidak didapatkan dalam
ungkapan kata tersebut secara jelas. Sedangkan meminang dengan Bahasa yang
jelas seperti “aku ingin menikhimu”.kedua ungkapan tersebut tidak diperbolehkan
terhadap wanita pada masa iddah talak raj’i.
2. Wanita
beriddah talaq Ba’in
Tidak
ada perselisihan di kalangan vukoha bahwa tidak boleh meminang wanita masa
iddah talak bain kubra (Talak bain besar yakni tiga kali cerai) dengan kalimat
yang jelas kecuali dengan menggunakan kalimat samara atau sindiran jumhur ulama
memperbolehkan sekalipun ulama hanafiyah tidak memperbolehkan. Jumhur ulama itu
adalah ulama almalikiyah, asy-syafiiyah dan hambaliyah dengan dalil nash
al-qur’an, sunah, dan rasio. Diantara ayat al-qur’an yang di jadikan dasar firman
allah:
Artinya:
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau
kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati (QS 2 ayat 235)”
Pada
ayat diatas, kalimat tidak ada dosa meminang wanita dengan kalimat sindiran
memberi faham mubah (boleh hukumnya). Kata “perempuan-perempuan” dalam ayat
memberi faedah umum meliputi semua wanita beriddah termasuk beriddah talaq
bain.
Diantara hadist yang dijadikan dasar adalah
periwayatan Abu amr bin Al-ash yang menalak Fatimah binti Qays dengan pasti dan
ia telah meninggalkannya. Nabi saw bersabda :
Jika engkau
telah hala beritahulah aku. (HR.
Muslim)
Tatkala telah halal dan telah habis masa iddahnya
Fatimah menyebut Muawiyah bin abi sufyan dan abu jahm meminangnya. Rosulalah saw
bersabda: “Adapun Abu jahm tidak mencegah tongkat dari lehernya (sindiran
tukang pukul), sedangkan Muawiyah kehidupannya miskin, tidak memiliki harta.
Nikahlah dengan Usamah bin Zaid”. Kemudian ia menikah dengannya maka Allah
menjadikan keberkahan yang banyak dan rasa optimis.
Petunjuk dalil hadist mengenai peminangan dengan
sindiran dalam sabda nabi saw: “jika engkau telah halal beritahukan kepadaku”.
Sindiran ini peminangan ini terjadi sebelum habis masa iddah dan keluar dari
sabda nabi saw oleh karena itu hadist tersebut dijadikan dasar bolehnya
meminang dengan sindiran pada wanita beriddah talak bain.
Dalil rasio bolehnya meminang wanita beriddah talak
bain kubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami istri karena ia
menjadi haram, sementara bagi suami pencerai tidak ada harapan kembali sebelum
dinikahi laki-laki lain. Pinangan sindiran tidak mengandung makna pinangan
secara jelas sebagaimana pinangan yang jelas, karena adanya kemungkinan
makna-makna lain. Karenanya dalam pinangan sindiran tidak ada kemungkinan
terjadi larangan yang diharamkan sebagaimana dalam pinangan yang jelas.
Ulama hanafiyah yang melarang pinangan sindiran
terhadap wanita masa iddah talak bain berdasarkan al-kitab dan as-sunah.
Diantara ayat Al-qur’an yang dijadikan dasar adalah sebagaiman ayat yang telah
disebutkan diatas yakni QS Al-baqarah ayat 235 mereka berpendapat bahwa kata
An-nisa (perempuan-perempuan) pada ayat tersebut sekali pun berlaku umum,
tetapi dimaksudkan wanita beriddah yang disebabkan kematian suaminya karena
konteks ayat tersebut menunjukan hal ini. Sebagaimana pula pada ayat sebelumnya
QS 2 : 234.
Artinya :
Dan orang-orang yang mati diantara kamu serta ,meninggalkannya istri-istri
hendaklah mereka (istri-istri) menunggu 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah
sampai akhir masa iddah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang
mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS:2: 234)
Kebolehan meminang dengan sindiran hanya pada wanita masa
iddah karena kematian suami nya, sedangkan selain wanita itu tetep terlarang dan demikian pula bagi wanita
tertalak ba’in qubra .kebolehan meminang wanita pada masa iddah terkadang menjadikan seorang wanita berani
berbuat dusta,karena terburu-buru menikah atau ada rasa dendam dengan mantan
suami pencerai.sebagian macam iddah ada yang memberi toleran ,khususnya bagi
wanita ber-iddah dengan patokan masa mentstruasi, karena masa tersebut bagi
wanita terkadang lama dan terkadang sebentar. Demikian itu hanya bagi
wanita yang berilmu dan pengakuannya
dibenarkan. Jika ia bohong, akan timbul percampuran keturunan dan ini sangat
berbahaya.
3. Wanita beriddah
talak bain shugra
Wanita
yang bertalak bai’in shugra dimaksud adalah wanita yang tercerai dua kali.
Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali
dengan akad nikah dan mahar dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain kubra.
Dalam hal ini fuqaha berbeda pendapat, menurut ulama malikiyah dan syafiiyah
boleh meminang sindiran terhadap wanita dalam masa iddah talak bain shugra
dianalogikan dengan talak bain kubra. Ada beberapa dalil yang dijadikan dasar,
yakni sebagaimana dalil yang telah disebutkan pada bab talak bain kubra diatas.
Disamping itu talak bain memutus hubungan suami istri, pinangan sindiran tidak
mengandung makna pinangan yang jelas. Wanita tidak akan berpegang pada kalimat
sindiran itu dan tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya masa iddah.
Mayoritas fuqaha berpendapat keharaman melakukan
pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya
pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya pernusuhan
antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar
baru dan lebih utama dari pada yang lain. Terlebih jika mantan pasangan suami
istri itu mempunyai anak banyak, tentunya mereka berhak hidup bersama bapak
ibunya sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang tenag dan tentram. Jika
peminangan itu diperbolehkan, berarti merampas hak suami pencerai tersebut.
Demikian itu akan menelantarkan keluarga dan menimbulkan bencana, padahal dalam
islam tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain.
Pendapat mayoritas ulama ini lebih kuat dan sesuai
dengan kecenderungan pikiran kami. Karena pada dasarnya pinangan sindiran
terhadap wanita Dalam iddah bain shugra itu haram. Teks Al-qur’an tidak
memperbolehkannya kecuali pinangan sindiran terhadap wanita dalam iddah
kematian dan selain itu tetap terlarang. Ketetapan itu berlaku bagi wanita
dalam iddah talak bain kubra dan shugra. Peminangannya akan menimbulkan
kerusakan dalam pengakuan yakni terselesainya masa iddah secara bohong,
sekalipun pinangan sindiran dan masa iddahnya belum selesai. Dalam pemberitaan
selesainya masa iddah, tentu ucapan yang diterima adalah ucapan wanita
tersebut. Tidak ada jalan bagi seseorang untuk mendustakannya selagi masih
mungkin membenarkan.
4. Wanita
beriddah karean khulu’ atau fasakh
Wanita beriddah karena khulu’ (talak karena permohonan
istri dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan nikah) karean suami miskin,
atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum meminang sindiran terhadap kedua
wanita tersebut terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama sebagaimana memianag sindiran terhadap wanita pada
masa iddah dari talak bain shugra dan kubra diatas.
Fuqaha sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut
tidak boleh dipinang secara jelas dari
selain suami pencerai. Bagi suami pencerai boleh saja memperjelas atau
menyindir pinangan selain wanita beriddah talak bain kubra, baginya haram
hingga wanita itu dinikahi laki-laki lain yang telah berhubungan intim kemudian
dipisah dengan cerai atau dengan yang lain dan telah habis masa iddahnya.
5. Wanita
ber-iddah karean kematian suami
Fukaha sepakat tidak boleh meminang dengan jelas
kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikamh adanya
larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan berbagai bencana,
antara lain :
a) Adanya permusuhan antara peminang dan keluarga suami
yang meninggal;
b) Keluarga almarhum menjadi benci dan memusuhi wanita
terpinang jika ia menerima pinangan seseorang setelah wafat suaminya dan belum
habis masa iddahnya;
c) Suami yang telah almarhum mempunyai kehormatan dan
banyak teman, wajib dijaga dan tidak segera dapat diingkari dari sisi istrinya;
d) Peminangan secara jelass tidak relevan dengan kondisi
yang seharusnya karean istri sedang meninggalkan hiasan yang menyolok dan
berduka cita atas kematian suaminya.
Fuqaha sepakat tidak boleh meminang secara jelas
terhadap wanita ber-iddah dari kematian suami sebagaimana kesepakatan
diperbolehkan memiang dengan sindiran. (QS :2 ayat 235).
·
WANITA BELUM TERPINANG
Diantara
syarat sah khitbah , hendaknya wanita belum terpinang oleh laki-laki lain.
Dalam kondisi ini terlarang meminang sebagaimana beberapa hadist yang datang
dari rosulalah saw diantaranya yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa nabi
bersabda :
Laki-laki
tidak boleh menjual jualan saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan
saudaranya. perempuan tidak boleh minta talak kepada saudara perempuannya agar
ia menuang apa-apa yang ada dalam bejananya (mengalihkan kekayaan). (HR
Al-Bukhori)
Hadist lain yang juga diriwayatkan Abu Hurairah,
rosulalah saw bersabda :
Laki-laki
tidak boleh meminang atas pinangan saudaranya sehingga ia menikah atau
meninggalkannya. (HR. Al-Bukhori)
Rosulalah
saw melarang meminang wanita yang telah terpinang, karena ia disibukan dengan
hak peminang pertama. Oleh karena itu jika terjadi peminanga kedua berarti sama
dengan menyalakan api permusuhan dan kebencian antara kedua peminang. Islam
selalu memperkuat tali percintaan antara kaum muslimin semua. Gambaran
kecintaan dan kasih sayang antar mereka bagaikan satu tubuh;jika anggota tubuh
mengeluh sakit maka akan menjalar keseluruh tubuh dengan beraga dan sakit
panas. Oleh karena itu, islam mengharamkan jualan seorang laki-laki atas jualan
saudaranya dan mengharamkan pinangannya atas pinangan saudaranya. Larangan ini
dimaksudkan agar tidak menyakiti penjual pertama, melukai perasaan peminang
pertama, dan lain-lain yang menyebabkan terciptanya lingkungan benci dan dendam
antar sesama manusia.
Ada tiga tipe bagi peminang pertaama baik dari segi
diterima atau ditolak yaitu sebagai berikut :
Pertama, jika peminang pertama diterima, dalam kondisi ini
berarti mencegah yang lain maju meminang wanita ini. Karena peminangan
laki-laki lain sebelumnya telah membuat sibuk pada hak peminang pertama. Fuqaha
sepakat, keharaman laki-laki lain meminang wanita tersebut karena berarti
melawan hak peminang pertama secara terang terangan. Jika ia tetap maju maka
berdosa dan haram bagi wanita menerimanya, karena hal itu melawan hak peminang
pertama dan mengundang permusuhan antar manusia.
Kedua, jika peminang pertama tidak diterima dan
ditolak permintaannya atau telah pindah sebelum peminang kedua maju maka dalam
hal ini fuqaha sepakat diperbolehkan meminang bagi peminang kedua. Alasannya,
peminang pertama belum memiliki hak terhadap wanita secara syara’ sehingga
tidak benar jika ia marah pada peminang kedua. Jika ia tetap marah, berarti
kemarahannya memutuskan, tidak perlu diperhatikan.
Ketiga, peminang pertama belum memutuskan, masih dalam
penelitian, masih piker-pikir dan
bermusyawarah. Dalam kondisi ini jika peminang kedua maju, fuqaha berbeda
berpendapat menurut sebagian fuqaha peminang kedua tidak boleh maju karena
terkadang akan menyebabkan gagalnya peminang pertama. Demikian itu berarti
menimbulkan permusuhan dan melukai perasaan. Alasan ini keharaman ini cenderung
adanya rasa benci yang sangat dari pihak peminang pertama terhadap peminang
kedua pada saat peminang pertama ditolak dan peminang kedua diterima.
Sebagian
fuqaha lain berpendapat, boleh meminang kedua maju untuk meminang pada saat
peminang pertama masih dalam musyawarah. Sebab pinangannyabelum tuntas dan diam
itu bisa diartikan tertolak secara terselubung. Diam yang disertai keraguan
berarti mempunyai hak memusuhi dan kemaslahatan wanita terpinang terkadang
lebih utama pada peminang kedua bukan pada pemianang pertama. Dari dua pendapat
diatas, menurut kami larangan menerima pinangan kedua adalah pendapat yang kuat
karena terkadang menaburkan benih dendam dan kebencian yang tidak ada maslahat
bagi wanita terpinang, ia bebas secara mutlak boleh menerima dan boleh menolak
peminang pertama. Jika ia menerimanya berarti itulah yang maslahat dan adanya
keseimbangan atau kesepadanan dan jika ia menolak , peminang kedua boleh maju
meminang dan sah-sah saja, tidak ada larangan.
Bab III
PENUTUP
a)
Kesimpulan
Agama Islam
telah mengatur 3 (tiga) hal yang fundamental, yaitu hubungan manusia dengan
tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan sosial
masyarakat.Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan
ajaran-ajaran ritual saja, akan tetapi juga mengajarkan tata etika dan moral
serta sosial kemasyarakatan, yang diantaranya adalah tata cara pernikahan
(perkawinan) yang sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu :
v Taaruf (
mengenal )
Taaruf merupakan masa penjajakan yang dianjurkan islam bagi para umatnya
yang telah siap untuk menikah.
v Khitbah
Khitbah
adalah peminangan kepada seorang wanita untuk dijadikan istri, atau suatu
tanda ikatan dari laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istri dikemudian
hari dengan melalui prosesi keagamaan yang sudah umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat, yaitu dari pihak keluarga pria datang kepada pihak
keluarga wanita untuk mengadakan acara pinangan dengan melalui musyawarah dan
kesepakatan biasanya ditandai pemberian cincin atau lainnya, dengan tujuan
tidak diperkenankan orang lain melamar atau menikahi perempuan yang sudah
dipinang tersebut.
b) Saran
Mahasiswa sebagai agent
of change, social control, iron stock, yang pada dasarnya orientasinya kepada
masyarakat harus dapat memberikan pemahaman-pemahaman dan bentuk pengamalan
yang kongkrit kepada masyarakat dalam bidang sosial,ekonomi dan politik serta
sebagai orang yang sadar dan tersadarkan menyalurkan benih-benih perubahan dan
peradaban.
DAFTAR
PUSTAKA
M.Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, (Jakarta :
PT Raja grafindo persada,2000,cet 2 ).
M.A.Tihami, fiqih munakahat, (Jakarta : Raja
Grafindo perkasa,2010)
Prof.Dr.Abdul
aziz Muhammad azzam,prof Dr.Abdul Wahhab sayyed hawwas, fiqih munakahat, (Jakarta: Amzah,cet 1,2009)
Drs. T.Ibrahim, pendidikan Agama islam, (purwakarta: PT
Intan pariwara,1990)
Slamet Abidin,fikih munakahat 1, (Bandung ;pustaka
setia,1999)
Rasyid
sulaeman, fiqih islam, Al-tahiriyah,
Jakarta,1981
Muhamad amin
suma, hukum keluarga islam didunia islam,
(Jakarta, Raja grafindo,2004)
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2009).
[1] Ibn hajar al-asqalani,terjemah bulughul maram,Diterjem.Muh.Sjarief sukandi
(Bandung:al-maarif,1986)H.357
[5] Prof.Dr.Abdul aziz
Muhammad azzam,prof Dr.Abdul Wahhab sayyed hawwas, fiqih munakahat, (Jakarta: Amzah,cet 1,2009)h.8
[7] M.Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, (Jakarta :
PT Raja grafindo persada,2000,cet 2 )h.145-149
Subscribe to:
Posts (Atom)