Tuesday, July 26, 2016



MAKALAH
TAHAPAN MENUJU PERNIKAHAN ( Pra Nikah )
DiSusun sebagai syarat Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Fiqh Munakahat II
Dosen Pengampu : Drs.Abdurahman Rasna MM.








                                          Disusun oleh :
                                          Nama : Ahmad Syafaat
                                          Nim : A01140017


PRODI AKHWAL ASY-SYAKSIYYAH
FAKULTAS AGAMA
UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN
2016


KATA PENGANTAR

Puja kita panjatkan kepada Allah yang maha kuasa, puji kita panjatkan kepada Allah yang maha suci, dan syukur kepada Allah yang maha Ghafur atas limpahan karunia-Nya, taufiq dan hidayah-Nya kita masih dapat menikmati nikmat yang tak terukur, nikmat yang tak terhitung, dan takan bisa terbayar tentunya, sehingga pada saat ini kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Fiqih munakahat II yang apabila tanpa nikmat-Nya takan dapat terselesaikan secara maksimal. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah dan limpahkan kepada kakanda baginda Nabi Muhammad SAW. Berkat dedikasi beliau yang membawa kita semua dari peradaban jahiliyah menjadi insyaAllah madaniyah, dari perjuangan Dakwah sampai sekarang perjuangan ilmiah.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis haturkan kepada bapak Drs Abdurahman Rasna MM selaku dosen mata kuliah Fiqih munakahat II yang telah memberikan tugas, semoga dengan adanya tugas ini kita mampu menyerap, menyampaikan, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Juga kepada teman-teman yang telah membantu memberikan suport dan do’a.
Makalah ini penulis beri judul Tahapan menuju pernikahan (pra nikah), di dalamnya di bahas berdasarkan kajian ontologi, epitemologi, dan aksiologi, tercantum pula referensi tambahan untuk memperkuat agar dapat di pertanggung jawabkan, tercantum pula pandangan para pemikir (Imam, Ulama, Sahabat, Tokoh) agar dapat menjadi sebuah perbandingan.
Demikian makalah yang kami buat demi kelancaran dalam menuntut ilmu kritik membangun dan saran perbaikan sangat kami di tunggu, mohon maaf segala kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah ini.

Cikaliung,1 April 2016

Ahmad Syafaat
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah.............................................................................
B.     Identifikasi masalah.................................................................................
C.     Rumusan masalah.......................................................................................
D.    Tujuan penulisan.........................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian  taaruf,kitbah dan pacaran .......................................................
B.     Syarat sah kitbah......................................................................................
C.     Kajian penelitian kasus taaruf ,kitbah dan pacaran dimasyarakat..............
D.    Anggota tubuh yang boleh dilihat pasca dipinang.....................................
E.     Pertimbangan proses taaruf,kitbah,pacaran menuju pernikahan.................
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................
B.     Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Islam adalah sebuah ajaran agama yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada manusia sampai akhir zaman. Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Dan Islam merupakan suatu ajaran yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat, karena didalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran ritual saja, akan tetapi juga mengajarkan tata etika dan moral serta sosial kemasyarakatan, yang diantaranya adalah tata cara pernikahan (perkawinan) yang sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu taaruf (mengenal) dan khitbah (pinangan).Begitu besar peran suami istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu memperhatikan hubungan antara pria dengan seorang wanita, baik sebelum dan sesudah terjadinya akad nikah.
Sebelum menikah ada beberapa fase-fase yang harus dilalui, yaitu pertama adalah acara taaruf, yang mana dari pihak laki-laki mengutus seorang perempuan yang dipercaya atau orang lain yang masih menjadi mahromnya si perempuan untuk menyelidiki perempuan yang akan dipinang tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau mengenal si perempuan, apakah ia masih gadis (belum ada ikatan perkawinan atau tunangan dengan orang lain) ataukah seorang janda, ia cacat ataukah sempurna tubuhnya, ia dari keluarga baik-baik atau tidak, ia sholehah (berakhlak dan taat menjalankan agamanya) ataukah sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.tetapi dizaman sekarang anak muda lebih memilih pacaran dalam menentukan pasangan hidup yang akan membuat kerusakan.
B.        Identifikasi masalah
            Dari uraian latar belakang diatas banyak teridentifikasi masalah diantaranya :
a)      Banyak masyarakat yang melakukan pacaran sebagai dalih mencari pasangan hidup
b)      Banyak pemuda berjalan berduaan dengan lain muhrim ditempat sepi
c)      Melunturnya pemahaman mengenai taaruf yang sesuai dengan syariat
d)     Pacaran dijadikan pelampiasan hawa nafsu
C.    Rumusan masalah
a)      Apakah perbedaan taaruf dengan pacaran?
b)      Bagaimana tahapan mencari pasangan yang sesuai dengan syariat islam?
c)      Kenapa pacaran banyak diminati remaja dengan dalih syarat menuju pernikahan?
d)     Apa saja anggota tubuh terpinang yang boleh dipandang?
e)      Bagaimanahukum memandang wanita terpinang?
D.    Tujuan penulisan
a)      Supaya mahasiswa mengetahui cara pandang hal apa yang dilakukan pra nikah
b)      Memeberikan pemahaman bahwa pacaran menimbulkan kerusakan
c)      Mahasiswa sebagai agent of change mampu menjadi pionir dalam masalah keluarga yang sering terjadi dimasyarakat
d)     Sebagai tambahan khazanah keilmuan dibidang akhwal asy-syaksiyah






BAB II
PEMBAHASAN

     Agama Islam telah mengatur 3 (tiga) hal yang fundamental, yaitu hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan sosial masyarakat. Aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan disebut ibadah, sementara aspek hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, alam dan lingkungan disebut mua’amalah. Sedangkan  bagian muamalah biasanya meliputi : Hukum niaga, munakahat, hukum wajib, hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum acara dan lain-lain,terakhi inilah yang termasuk didalamnya membahas tentang tata cara sebelum menikah yang terdiri dari beberapa syarat dan rukun.
     Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran ritual saja, akan tetapi juga mengajarkan tata etika dan moral serta sosial kemasyarakatan, yang diantaranya adalah tata cara pernikahan (perkawinan) yang sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu :
v  Taaruf ( mengenal )
     Taaruf merupakan masa penjajakan yang dianjurkan islam bagi para umatnya yang telah siap untuk menikah. Begitu besar peran suami istri dalam keluarga, sehingga Islam selalu memperhatikan hubungan antara pria dengan seorang wanita, baik sebelum dan sesudah terjadinya akad nikah. acara taaruf, yang mana dari pihak laki-laki mengutus seorang perempuan yang dipercaya atau orang lain yang masih menjadi mahromnya si perempuan untuk menyelidiki perempuan yang akan dipinang tersebut. Dengan tujuan mengetahui atau mengenal si perempuan, apakah ia masih gadis (belum ada ikatan perkawinan atau tunangan dengan orang lain) ataukah seorang janda, ia cacat ataukah sempurna tubuhnya, ia dari keluarga baik-baik atau tidak, ia sholehah (berakhlak dan taat menjalankan agamanya) ataukah sebaliknya serta banyak lagi hal untuk diketahui.Kemudian setelah diketahui dan yakin terhadap keadaan perempuan tersebut dan layak untuk dinikahi oleh si laki-laki sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw :
Artinya :“ Perempuan dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, pilihlah olehmu karena agamanya niscaya engkau berbahagia” (mutafaqun alaih)[1]
     Dalam taaruf dikenal dengan istilah muarabbi atau perantara, proses taaruf diawali dengan salaing bertukar informasi melalui murrabi masing-masing pihak,kemudian apabila keduannya merasa cocok satu sama lain proses ini berlanjut pada tahap pertemuan, dalam melakukan pertemuan pun harus selalu melibatkan murrabi biasanya pertemuan dibatasi hanya 2-3 kali dengan jangka waktu 1-2 jam.dalam pertemuan tersebut mereka dapat saling bertanya mengenai kepribadian,problem hidup,pola piker dan lain sebagainnya penulis yakin bahwa melalui taaruf yang disyariatkan akan adanya pertimbangan (marital adjustment) menuju jenjang pernikahan. Antara taaruf dan pacaran jika dikaji secara ontologis,epistemology,aksiologi, itu sangat berbeda sekali, penulis berpendapat secara empiris banyak masyarakat dikalangan muda melakukan pacaran bahkan anak-anak masih sekolah pun melakukan pacaran ini adalah termasuk salah satu prolematika umat yang harus diperbaiki oleh generasi muda sebab dengan pacaran kerusakanlah yang pasti akan terjadi baik berdampak pada dirinya sendiri maupun orang lain. Perbedaan lainnya dengan proses pacaran adalah mengenai batas watu taaruf,taaruf pada umumnya berlangsung paling lama 3-4 bulan jika pacaran arah dan tujuannya tidak jelas,sebagaimana rosulalah saw bersabda:
“janganlah seorang laki-laki bertemu sendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya,karena yang ketiganya adalah setan” (HR Imam Ahmad)
     Pada hakikatnya tidak ada aturan baku tentang taaruf sebab aturan umum dalam pergaulan islam tetap berlaku,patokannya antara lain tetap seperti yang disebutkan dalam Al-qur’an (Qs An-nuur ayat 30-31 dan Al-isro ayat 32) dan al-hadist diantaranya menjaga pandangan,menjaga aurat,menghindari zina mata,zina hati,dan zina badan,dari aturan-aturan diatas sudah jelas proses taaruf tidak boleh melenceng dari aturan tersebut. Jika keduanya sudah merasa cocok maka proses taaruf selanjutnya perkenalan ketahap keluarganya yang didampingi murrabi atau bisa disebut khitbah / meminang /tunangan.[2]
v    Khitbah
a.      Definisi khitbah
Khitbah adalah peminangan kepada seorang wanita untuk dijadikan istri, atau suatu tanda ikatan dari laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istri dikemudian hari dengan melalui prosesi keagamaan yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat, yaitu dari pihak keluarga pria datang kepada pihak keluarga wanita untuk mengadakan acara pinangan dengan melalui musyawarah dan kesepakatan biasanya ditandai pemberian cincin atau lainnya, dengan tujuan tidak diperkenankan orang lain melamar atau menikahi perempuan yang sudah dipinang tersebut.[3] Dalam ajaran Islam setelah khitbah atau dalam istilah sekarang tunangan, adalah merupakan hubungan yang belum dihalalkan untuk bertemu berduaan atau bahkan bepergian bersama-sama sebagaimana pergaulan orang yang sudah menikah layaknya suami istri, sebab tunangan itu hanyalah suatu ikatan janji untuk menuju nikah bukan pernikahan, oleh karenanya hal tersebut belumlah sampai pada taraf halal bahkan semuanya masih dikategorikan haram. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menyendiri dengan tunangan hukumnya haram.Agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya, kecuali melihat. Hal ini dikarenakan menyendiri (berduaan) dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan5. Sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad saw :
Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw., Beliau bersabda : “ Janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahromnya.” (HR.Bukhori)
Khitbah hanyalah suatu ikatan janji untuk menuju jenjang pernikahan, maka tidak diperkenankan sedikitpun untuk mengikuti jejak dan aturan pergaulan orang yang sudah menikah, karenanya hal tersebut belumlah sampai pada taraf halal, seperti bepergian bersama, bersenda gurau dan lain sebagainya. Mengenai pergaulan seseorang yang belum melakukan pernikahan, yang mana ia masih baru selesai melaksanakan peminangan, maka ada larangan-larangan baginya yang menjadi tolak ukur dalam mengadakan pergaulan kepada perempuan yang telah dipinangnya. Pergaulan bagi orang yang masih dalam tunangan adalah terlarang mutlak secara syar’i, untuk berdua-duaan tanpa didampingi mahram si perempuan yang bijaksana dan mengerti batasan-batasan agama mengenai pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga keduanya diharapkan selama dalam ikatan khitbah untuk menjaga kehormatan, kemulyaan dan harga dirinya masing-masing. Pada masa tunangan itulah kedua belah pihak memiliki kesempatan dan berusaha mengenal calon pasangan hidupnya dengan batasan-batasan yang telah diatur oleh Islam, kalau ternyata ada kesesuaian maka perkawinan dapat dilangsungkan, tetapi kalau terdapat ketidaksesuaian, bolehlah pertunangan dapat dibatalkan dengan cara yang arif.[4] Islam dengan tegas melarang laki-laki dan perempuan berdua-duaan tanpa adanya mahram meskipun sudah bertunangan sampai ada ikatan suami istri. Orang yang berkhalwat (berduaan) dikhawatirkan mudah melakukan sesuatu yang dilarang Allah SWT.
b.            Karakteristik khitbah
            Diantara hal yang disepakati mayoritas ulama fiqih,syariat,dan perundang-undangan bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah,belum ada akad nikah.khitbah tidak mempunyai hak dan pengaruh seperti akad nikah.dalam akad nikah,memeiliki ungkapan khusus (ijab qabul) dan seperangkat persyaratan tertentu,dengan demikian segala sesuatu yang tidak demikian bukan akad nikah secara syara’.
            Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah,masing-masing calon pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didassarkan pada pilihannya sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni tidak hak intervensi orang lain.bahkan andaikata mereka telah sepakat kadar mahar dan bahkan mahar itu telah diserahkan sekaligus atau wanita terpinang telah menerima berbgai hadiah dari peminang,atau telah menerima hadiah yang telah berharga.semua itu tidak menggeser status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat.maslahat akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan yang sempurna untuk menentukan pilihannya,karena akad nikah adalah akad menentukan kehidupan mereka.diantara maslahat yaitu jika dalam akad nikah didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kehidupan belah pihak,tidak ada tekanan dan paksaan dari mana pun.jika seorang peminang diwajibkan atas sesuatu sebab pinangannya itu, berarti ia harus melaksanakan akad nikah sebelum memenuhi segala sebab yang menjadikan kerelaan.demikian akan ditetapkan kitab-kitab fiqih secara ijma tidak ada perselisihan.kesepakatan tersebut tidak berpengaruh pada apa yang diriwayatkan dari imam malik bahwa perjanjian itu wajib dipenuhi dengan putusan pengadilan menurut sebagian pendapat. Akan tetapi dalam perjanjian akan nikah (khitbah) tidak harus dipenuhi,karena penepatan janji ini menuntut keberlangsungan akad nikah bagi orang yang tidak ada kerelaan. Hakim pun tidak berhak memutuskan pemaksaan pada akad yang kritis ini.[5]
c.       Hikmah disyariatkan khitbah
            Transaksi nikah dalam islam tergolong transaksi yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya,karena ia hanya terjadi pada mahluk yang paling agung di bumi,yakni manusia yang dimuliakan Allah sebagaimana firman-Nya.




Artinya : Dan sungguh kami telah memuliakan anak cucu adam dan kami angkut mereka didarat dan dilaut dan beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka diatas banyak mahluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna (QS Al-isra (17) : 70)
            Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa bukan untuk sementara.salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sacral terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dab mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya,karakter, prilaku, dan akhlaknya sehingga keduannya akan dapat meletakan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah satu pihak.inilah diantara hikmah disyariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.
d.      Hukum memandang wanita terpinang
            Syariat islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman diantara dalil yang menunjukan bolehnya memandang wanita karean khitbah sebagaimana yang diriwayatkan dari nabi bersabda kepada Al-mughirah bin syu’bah yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi :” Apakah Anda telah melihatnya?” ia menjawab: Belum beliau bersabda :


Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga kasih saying dan kesuaian).
Demikian juga hadist dari jabir ia berkata rosulalah saw bersabda :
Artinya : Jika meminang salah seorang diantara kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah.jabir berkata : “Kemudian aku meminang seorang wanita yang semula tersembunyi sehinnga aku melihat apa yang menarik bagiku untuk menikahinya,kemudian aku menikahinya.” (HR Abu Dawud).
            Syariat islam memperbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang,padahal asalnya haram memandang wanita lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat,yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut kareana masing-masing calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus prilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan yakni anak-anak dan keturunannya. Demikian juga diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memandang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian, dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
e.       Anggota tubuh yang terpinang yang boleh dipandang
1)      Mayoritas fuqaha seperti imam malik, Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan,kesehatan,dan akhlak.sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indicator kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapaun dalil mereka adalah firman Allah swt :


                                                                                                  

Artinya : dan janganlah menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali apa yang biasa terlihat darinya. (QS. An-Nur (24) : 31)
Ibnu abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya” dimaksudkan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya sekadarnya wajah menunjukan keindahan dan kecantikan,sedangkan kedua telapak tangan menunujukan kehalusan dan kelemahan tubuh seseorang. Tidak boleh memandang selain keduan anggota tubuh tersebut jika tidak ada darurat yang mendorongnya.
1.      Ulama hambali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram yaitu apa yang tampak pada wanita pada umumnya disaat bekerja dirumah seperti wajah, kedua telapak tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang anggota tubuh yang pada umumnya tertutup seperti dada, punggung, dan sesamanya. Adapun alasan mereka Nabi tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya. Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang nampak pada umumnya, oleh karena itu tidak mungkin hanya memandang wajah, kemudian diperbolehkan memandang yang lain karena sama-sama tampak seperti halnya wajah. Mereka juga berdalil pada hadist yang diriwayatkan dari sa’id dari sufyan dari Amr bin Dinar dari ibnu ja’far berkata : Umar prnah meminang putri ali, Ali menjawab: masih kecil. Mereka berkata : sesungguhnya Ali menolak engkau.’ Maka ia mengulangi pinangan itu. Ali berkata : kami akan mengutusnya kepada engkau untuk dilihat, Umar setuju kemudian menyingkap kedua betis kakinya. Putri itu berkata : Aku diutus sesungguhnya jikalau bukan engkau amirul mukminin aku tampar dengan darah haidh yang engkau lihat.”
2.      Ulama hanafiyah dan hanabilah yang masyhur mazhabnya berpendapat, kadar anggota tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya. Menyingkap dan memandang wanita lebih dari anggota tersebut akan menimbulkan kerusakan dan maksiat yang pada umumnya diduga maslahat.dalam khitbah wajib dan cukup memandang anggota tubuh tersebut saja sebagaimana wanita boleh terbuka kedua tumit, wajah, dan kedua telapak tangannya ketika dalam shalat dan haji.
3.      Dawud azh-Zhahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda nabi saw :”Lihatlah kepadanya.” Disini Rosulalah saw tidak mengkhususkan suatu bagian bukan bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
Pendapat Azh-Zhahiriyah telah ditolak mayoritas ulama karena pendapat mereka menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya. Pendapat yang kuat (rajih) yakni bolehnya memandang wajah,kedua telapak tangan, dan kedua tumit kaki.
f.       Empat mata dengan wanita pinangan
            Syariat islam memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita terpinang boleh melihat laki-laki peminang. Penglihatan masing-masing ini dimaksudkan agar saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke pernikahan. Kebolehan melihat tersebut hanya pada saat khitbah. Oleh karena itu, peminang tidak boleh bersunyian empat mata dengan wanita terpinang, tidak boleh pergi bersama, keluar untuk rekreasi kecuali disertai dengan mahram. Hal tersebut untuk menolak fitnah menjauhi tempat-tempat keraguan, memelihara kemuliaan dan kehormatan gadis. Fuqaha telah sepakat bahwa pandangan peminang terhadap wanita terpinang tidak boleh ditempat sunyi karena bersunyian antara laki-laki dan wanita haram. Syariat islam memperbolehkan melihat wanita terpinang karena maslahat, sedangkan segala bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan terlarang. Oleh karena itu  tidak boleh melihat wanita terpinang ditempat sepi tanpa disertai salah seorang keluarga (mahram).[6] Bersepian dengan wanita lain haram hukumnya, kecuali bagi mahram atau suaminya sendiri. Asumsi diperbolehkannya pacaran, bergaul bebas, dan bersepian dengan maksud saling mengetahui sifat atau karakter calon teman hidupnya sebelum menikah adalah asumsi batil, tidak benar. Hal tersebut dikarenakan masing-masing individu akan membebani teman calon pasangannya berdiri diluar karakter dan menampakkan dirinya tidak seperti biasanya.
g.      Syarat sah khitbah
Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat yaitu :
·         SEORANG WANITA YANG BAIK DIAKAD NIKAHI
            Wanita yang baik diakadnikahi pada saat pinangan sehingga dapat menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa kitbah berfungsi sebagai sarana (washilah) untuk mencapai suatu tujuan, yakni nikah. Hukum sarana sama dengan hukum tujuan. Jika tujuan itu tidak disyariatkan maka tujuan itu terlarang.
            Wanita menjadi objek akad jika ia terlepas dari berbagai larangan nikah secara syara dan tidak haram karena suatu sebab dari berbagai sebab keharaman. Sebab keharaman itu adakalanya kekal abadi seperti ibu, saudara perempuan, dan saudara perempuan dari pihak bapak  maupun  ibu dan adakalanya bersifat temporal seperti wanita murtad, wanita musyrik, istri orang, saudara perempuan dari istri atau saudara perempuan bapak dan ibunya istri. Wanita yang haram abadi tidak boleh dinikahi dalam keadaan bagaimana pun karena sebab keharaman bersifat tetap dan tidak akan sirna. Status ibu, saudara perempuan, dan saudara perempuan bapak misalnya adalah keharaman yang bersifat tetap dan kekal sepanjang masa, tidak akan terjadi pengguguran, perubahan, dan pergeseran. Sedangkan wanita yang diharamkan bersifat temporal, tidak boleh dinikahi selama sebab keharaman itu masih ada . jika sebab keharaman itu sudah lenyap, bagi orang yang ingin menikahinya boleh melakukan khitbah misalnya, wanita murtad kembali masuk islam, wanita musyrik memeluk agama samawi, dan wanita tertalak yang sudah habis masa iddahnya.
            Untuk memperjelas permasalahan khitbah terhadap wanita tertalak dalam masa iddah, berikut ini akan dipaparkan secara terperinci.
1.      Wanita ber-iddah talaq Raj’i
            Para fuqaha sepakat keharaman meminang wanita dalam masa iddah talak raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga kalinya) baik menggunakan Bahasa yang tegas dan jelas maupun menggunakan Bahasa sindiran (kinayah). Sang istri yang tertalak raj’i masih berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama dalam masa iddah. Suami boleh ruju’(kembali) tanpa minta kerelaan dari padanya kapan pun, tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah. Diharamkan bagi laki-laki lain melakukan khitbah pada wanita dalam masa iddah, karena khitbah dalam kondisi ini berarti melawan hak suami pencerai, menodai perasaannya dan merampas haknya dalam mengembalikan istri tercerai kepangkuannya karena terkadang wanita itu mempunyai banyaka anak yang masih kecil yang kemudian bisa terlantar karenanya.meminang wanita dalam masa iddah terkadang membuat wanita tersebut berbuat bohong, mengaku telah habis masa iddahnya padahala kenyataannya ia belum habis masa iddahnya.[7] Meminang wanita dengan menggunakan bahasa yang jelas berarti menyebutkan ungkapan kata yang mempunyai makna suatu keinginan meminang tidak ada kemungkinan makna lain sedangkan meminang dengan Bahasa sindiran dan samara berarti menyebut ungkapan kata yang mengandung makna meminang dan makna lain namun kandungan lahirnya pada makna lain lebih kuat. Diantara meminang dengan menggunakan Bahasa sindiran sebagaimana dalam suatu periwayatan, bahwa sukainah binti hanzhalah berkata : “Muham
mad bin ali bin al-khusain minta izin kepadaku dan aku belum selesai masa iddahku dari suamiku yang wafat.” Dia berkata : “sudah maklum kerabatku dari rosulalah saw dan kerabatku dari ali, tempat tinggalku di arab.” Aku berkata: “semoga Allah mengmpunimu hai Abu ja’far seseungguhnya engkau bersalah meminangku pada masa iddah…”Dia berkata aku memberi tahu engkau bahwa kerabatku dari rusulalah dan dari Ali.”
Ungkapan kata diatas mengandung makana meminang dan yang lain, karena Muhamad bin Ali dapat menjelaskannya dengan makna lain. Contoh lain ungkapan seorang laki-laki: jika telah selesai masa iddahmu beri tahu aku”. Di maksudkan meminang dengan indikasi yng tidak didapatkan dalam ungkapan kata tersebut secara jelas. Sedangkan meminang dengan Bahasa yang jelas seperti “aku ingin menikhimu”.kedua ungkapan tersebut tidak diperbolehkan terhadap wanita pada masa iddah talak raj’i.
2.      Wanita beriddah talaq Ba’in
            Tidak ada perselisihan di kalangan vukoha bahwa tidak boleh meminang wanita masa iddah talak bain kubra (Talak bain besar yakni tiga kali cerai) dengan kalimat yang jelas kecuali dengan menggunakan kalimat samara atau sindiran jumhur ulama memperbolehkan sekalipun ulama hanafiyah tidak memperbolehkan. Jumhur ulama itu adalah ulama almalikiyah, asy-syafiiyah dan hambaliyah dengan dalil nash al-qur’an, sunah, dan rasio. Diantara ayat al-qur’an yang di jadikan dasar firman allah:


Artinya: Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan keinginanmu dalam hati (QS 2 ayat 235)”
            Pada ayat diatas, kalimat tidak ada dosa meminang wanita dengan kalimat sindiran memberi faham mubah (boleh hukumnya). Kata “perempuan-perempuan” dalam ayat memberi faedah umum meliputi semua wanita beriddah termasuk beriddah talaq bain.
Diantara hadist yang dijadikan dasar adalah periwayatan Abu amr bin Al-ash yang menalak Fatimah binti Qays dengan pasti dan ia telah meninggalkannya. Nabi saw bersabda :


Jika engkau telah hala beritahulah aku. (HR. Muslim)
Tatkala telah halal dan telah habis masa iddahnya Fatimah menyebut Muawiyah bin abi sufyan dan abu jahm meminangnya. Rosulalah saw bersabda: “Adapun Abu jahm tidak mencegah tongkat dari lehernya (sindiran tukang pukul), sedangkan Muawiyah kehidupannya miskin, tidak memiliki harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid”. Kemudian ia menikah dengannya maka Allah menjadikan keberkahan yang banyak dan rasa optimis.
Petunjuk dalil hadist mengenai peminangan dengan sindiran dalam sabda nabi saw: “jika engkau telah halal beritahukan kepadaku”. Sindiran ini peminangan ini terjadi sebelum habis masa iddah dan keluar dari sabda nabi saw oleh karena itu hadist tersebut dijadikan dasar bolehnya meminang dengan sindiran pada wanita beriddah talak bain.
Dalil rasio bolehnya meminang wanita beriddah talak bain kubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami istri karena ia menjadi haram, sementara bagi suami pencerai tidak ada harapan kembali sebelum dinikahi laki-laki lain. Pinangan sindiran tidak mengandung makna pinangan secara jelas sebagaimana pinangan yang jelas, karena adanya kemungkinan makna-makna lain. Karenanya dalam pinangan sindiran tidak ada kemungkinan terjadi larangan yang diharamkan sebagaimana dalam pinangan yang jelas.
Ulama hanafiyah yang melarang pinangan sindiran terhadap wanita masa iddah talak bain berdasarkan al-kitab dan as-sunah. Diantara ayat Al-qur’an yang dijadikan dasar adalah sebagaiman ayat yang telah disebutkan diatas yakni QS Al-baqarah ayat 235 mereka berpendapat bahwa kata An-nisa (perempuan-perempuan) pada ayat tersebut sekali pun berlaku umum, tetapi dimaksudkan wanita beriddah yang disebabkan kematian suaminya karena konteks ayat tersebut menunjukan hal ini. Sebagaimana pula pada ayat sebelumnya QS 2 : 234.
Artinya : Dan orang-orang yang mati diantara kamu serta ,meninggalkannya istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu 4 bulan 10 hari. Kemudian apabila telah sampai akhir masa iddah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS:2: 234)
Kebolehan meminang dengan sindiran hanya pada wanita masa iddah karena kematian suami nya, sedangkan selain wanita itu  tetep terlarang dan demikian pula bagi wanita tertalak ba’in qubra .kebolehan meminang wanita pada masa iddah  terkadang menjadikan seorang wanita berani berbuat dusta,karena terburu-buru menikah atau ada rasa dendam dengan mantan suami pencerai.sebagian macam iddah ada yang memberi toleran ,khususnya bagi wanita ber-iddah dengan patokan masa mentstruasi, karena masa tersebut bagi wanita terkadang lama dan terkadang sebentar. Demikian itu hanya bagi wanita  yang berilmu dan pengakuannya dibenarkan. Jika ia bohong, akan timbul percampuran keturunan dan ini sangat berbahaya.
3.      Wanita beriddah talak bain shugra
            Wanita yang bertalak bai’in shugra dimaksud adalah wanita yang tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain kubra. Dalam hal ini fuqaha berbeda pendapat, menurut ulama malikiyah dan syafiiyah boleh meminang sindiran terhadap wanita dalam masa iddah talak bain shugra dianalogikan dengan talak bain kubra. Ada beberapa dalil yang dijadikan dasar, yakni sebagaimana dalil yang telah disebutkan pada bab talak bain kubra diatas. Disamping itu talak bain memutus hubungan suami istri, pinangan sindiran tidak mengandung makna pinangan yang jelas. Wanita tidak akan berpegang pada kalimat sindiran itu dan tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya masa iddah.
Mayoritas fuqaha berpendapat keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan dengan bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan terjadinya pernusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali dengan akad dan mahar baru dan lebih utama dari pada yang lain. Terlebih jika mantan pasangan suami istri itu mempunyai anak banyak, tentunya mereka berhak hidup bersama bapak ibunya sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang tenag dan tentram. Jika peminangan itu diperbolehkan, berarti merampas hak suami pencerai tersebut. Demikian itu akan menelantarkan keluarga dan menimbulkan bencana, padahal dalam islam tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain.
Pendapat mayoritas ulama ini lebih kuat dan sesuai dengan kecenderungan pikiran kami. Karena pada dasarnya pinangan sindiran terhadap wanita Dalam iddah bain shugra itu haram. Teks Al-qur’an tidak memperbolehkannya kecuali pinangan sindiran terhadap wanita dalam iddah kematian dan selain itu tetap terlarang. Ketetapan itu berlaku bagi wanita dalam iddah talak bain kubra dan shugra. Peminangannya akan menimbulkan kerusakan dalam pengakuan yakni terselesainya masa iddah secara bohong, sekalipun pinangan sindiran dan masa iddahnya belum selesai. Dalam pemberitaan selesainya masa iddah, tentu ucapan yang diterima adalah ucapan wanita tersebut. Tidak ada jalan bagi seseorang untuk mendustakannya selagi masih mungkin membenarkan.
4.      Wanita beriddah karean khulu’ atau fasakh
Wanita beriddah karena khulu’ (talak karena permohonan istri dengan hadiah) atau karena fasakh nikah (ada sesuatu yang  merusak keabsahan nikah) karean suami miskin, atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum meminang sindiran terhadap kedua wanita tersebut  terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagaimana memianag sindiran terhadap wanita pada masa iddah dari talak bain shugra dan kubra diatas.
Fuqaha sepakat bahwa masing-masing wanita tersebut tidak boleh dipinang  secara jelas dari selain suami pencerai. Bagi suami pencerai boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain wanita beriddah talak bain kubra, baginya haram hingga wanita itu dinikahi laki-laki lain yang telah berhubungan intim kemudian dipisah dengan cerai atau dengan yang lain dan telah habis masa iddahnya.
5.      Wanita ber-iddah karean kematian suami
Fukaha sepakat tidak boleh meminang dengan jelas kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami. Hikamh adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan berbagai bencana, antara lain :
a)      Adanya permusuhan antara peminang dan keluarga suami yang meninggal;
b)      Keluarga almarhum menjadi benci dan memusuhi wanita terpinang jika ia menerima pinangan seseorang setelah wafat suaminya dan belum habis masa iddahnya;
c)      Suami yang telah almarhum mempunyai kehormatan dan banyak teman, wajib dijaga dan tidak segera dapat diingkari dari sisi istrinya;
d)     Peminangan secara jelass tidak relevan dengan kondisi yang seharusnya karean istri sedang meninggalkan hiasan yang menyolok dan berduka cita atas kematian suaminya.
Fuqaha sepakat tidak boleh meminang secara jelas terhadap wanita ber-iddah dari kematian suami sebagaimana kesepakatan diperbolehkan memiang dengan sindiran. (QS :2 ayat 235).
·         WANITA BELUM TERPINANG
            Diantara syarat sah khitbah , hendaknya wanita belum terpinang oleh laki-laki lain. Dalam kondisi ini terlarang meminang sebagaimana beberapa hadist yang datang dari rosulalah saw diantaranya yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa nabi bersabda :
Laki-laki tidak boleh menjual jualan saudaranya dan tidak boleh meminang pinangan saudaranya. perempuan tidak boleh minta talak kepada saudara perempuannya agar ia menuang apa-apa yang ada dalam bejananya (mengalihkan kekayaan). (HR Al-Bukhori)
Hadist lain yang juga diriwayatkan Abu Hurairah, rosulalah saw bersabda :


Laki-laki tidak boleh meminang atas pinangan saudaranya sehingga ia menikah atau meninggalkannya. (HR. Al-Bukhori)
            Rosulalah saw melarang meminang wanita yang telah terpinang, karena ia disibukan dengan hak peminang pertama. Oleh karena itu jika terjadi peminanga kedua berarti sama dengan menyalakan api permusuhan dan kebencian antara kedua peminang. Islam selalu memperkuat tali percintaan antara kaum muslimin semua. Gambaran kecintaan dan kasih sayang antar mereka bagaikan satu tubuh;jika anggota tubuh mengeluh sakit maka akan menjalar keseluruh tubuh dengan beraga dan sakit panas. Oleh karena itu, islam mengharamkan jualan seorang laki-laki atas jualan saudaranya dan mengharamkan pinangannya atas pinangan saudaranya. Larangan ini dimaksudkan agar tidak menyakiti penjual pertama, melukai perasaan peminang pertama, dan lain-lain yang menyebabkan terciptanya lingkungan benci dan dendam antar sesama manusia.
Ada tiga tipe bagi peminang pertaama baik dari segi diterima atau ditolak yaitu sebagai berikut :
Pertama, jika peminang pertama diterima, dalam kondisi ini berarti mencegah yang lain maju meminang wanita ini. Karena peminangan laki-laki lain sebelumnya telah membuat sibuk pada hak peminang pertama. Fuqaha sepakat, keharaman laki-laki lain meminang wanita tersebut karena berarti melawan hak peminang pertama secara terang terangan. Jika ia tetap maju maka berdosa dan haram bagi wanita menerimanya, karena hal itu melawan hak peminang pertama dan mengundang permusuhan antar manusia.
Kedua, jika peminang pertama tidak diterima dan ditolak permintaannya atau telah pindah sebelum peminang kedua maju maka dalam hal ini fuqaha sepakat diperbolehkan meminang bagi peminang kedua. Alasannya, peminang pertama belum memiliki hak terhadap wanita secara syara’ sehingga tidak benar jika ia marah pada peminang kedua. Jika ia tetap marah, berarti kemarahannya memutuskan, tidak perlu diperhatikan.
Ketiga, peminang pertama belum memutuskan, masih dalam penelitian,  masih piker-pikir dan bermusyawarah. Dalam kondisi ini jika peminang kedua maju, fuqaha berbeda berpendapat menurut sebagian fuqaha peminang kedua tidak boleh maju karena terkadang akan menyebabkan gagalnya peminang pertama. Demikian itu berarti menimbulkan permusuhan dan melukai perasaan. Alasan ini keharaman ini cenderung adanya rasa benci yang sangat dari pihak peminang pertama terhadap peminang kedua pada saat peminang pertama ditolak dan peminang kedua diterima.
            Sebagian fuqaha lain berpendapat, boleh meminang kedua maju untuk meminang pada saat peminang pertama masih dalam musyawarah. Sebab pinangannyabelum tuntas dan diam itu bisa diartikan tertolak secara terselubung. Diam yang disertai keraguan berarti mempunyai hak memusuhi dan kemaslahatan wanita terpinang terkadang lebih utama pada peminang kedua bukan pada pemianang pertama. Dari dua pendapat diatas, menurut kami larangan menerima pinangan kedua adalah pendapat yang kuat karena terkadang menaburkan benih dendam dan kebencian yang tidak ada maslahat bagi wanita terpinang, ia bebas secara mutlak boleh menerima dan boleh menolak peminang pertama. Jika ia menerimanya berarti itulah yang maslahat dan adanya keseimbangan atau kesepadanan dan jika ia menolak , peminang kedua boleh maju meminang dan sah-sah saja, tidak ada larangan.  
Bab III
PENUTUP
a)   Kesimpulan
     Agama Islam telah mengatur 3 (tiga) hal yang fundamental, yaitu hubungan manusia dengan tuhan, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan sosial masyarakat.Jelaslah bahwa di sini Islam bukanlah agama yang hanya mengajarkan ajaran-ajaran ritual saja, akan tetapi juga mengajarkan tata etika dan moral serta sosial kemasyarakatan, yang diantaranya adalah tata cara pernikahan (perkawinan) yang sebelumnya ada tahapan-tahapannya, yaitu :
v  Taaruf ( mengenal )
            Taaruf merupakan masa penjajakan yang dianjurkan islam bagi para umatnya yang telah siap untuk menikah.
v    Khitbah
            Khitbah adalah peminangan kepada seorang wanita untuk dijadikan istri, atau suatu tanda ikatan dari laki-laki kepada perempuan untuk dijadikan istri dikemudian hari dengan melalui prosesi keagamaan yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat, yaitu dari pihak keluarga pria datang kepada pihak keluarga wanita untuk mengadakan acara pinangan dengan melalui musyawarah dan kesepakatan biasanya ditandai pemberian cincin atau lainnya, dengan tujuan tidak diperkenankan orang lain melamar atau menikahi perempuan yang sudah dipinang tersebut.
b)     Saran
            Mahasiswa sebagai agent of change, social control, iron stock, yang pada dasarnya orientasinya kepada masyarakat harus dapat memberikan pemahaman-pemahaman dan bentuk pengamalan yang kongkrit kepada masyarakat dalam bidang sosial,ekonomi dan politik serta sebagai orang yang sadar dan tersadarkan menyalurkan benih-benih perubahan dan peradaban.
DAFTAR PUSTAKA

M.Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, (Jakarta : PT Raja grafindo persada,2000,cet 2 ).
M.A.Tihami, fiqih munakahat, (Jakarta : Raja Grafindo perkasa,2010)
Prof.Dr.Abdul aziz Muhammad azzam,prof Dr.Abdul Wahhab sayyed hawwas, fiqih munakahat, (Jakarta: Amzah,cet 1,2009)
Drs. T.Ibrahim, pendidikan Agama islam, (purwakarta: PT Intan pariwara,1990)
Slamet Abidin,fikih munakahat 1, (Bandung ;pustaka setia,1999)
Rasyid sulaeman, fiqih islam, Al-tahiriyah, Jakarta,1981
Muhamad amin suma, hukum keluarga islam didunia islam, (Jakarta, Raja grafindo,2004)
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2009).



[1] Ibn hajar al-asqalani,terjemah bulughul maram,Diterjem.Muh.Sjarief sukandi (Bandung:al-maarif,1986)H.357
[2] Drs. T.Ibrahim, pendidikan Agama islam, (purwakarta: PT Intan pariwara,1990)h.22
[3] Slamet Abidin,fikih munakahat 1, (Bandung ;pustaka setia,1999)h.41
[4] Harun nasition, islam rasional, (Bandung : mizan,1996),h.238
[5] Prof.Dr.Abdul aziz Muhammad azzam,prof Dr.Abdul Wahhab sayyed hawwas, fiqih munakahat, (Jakarta: Amzah,cet 1,2009)h.8
[6] M.A.Tihami, fiqih munakahat, (Jakarta : Raja Grafindo perkasa,2010), h.33
[7] M.Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, (Jakarta : PT Raja grafindo persada,2000,cet 2 )h.145-149